Same Old, Same Old

Maro Fitzye
6 min readJul 21, 2023

--

Haeril berjalan dengan senyuman yang senantiasa menghiasi wajahnya yang rupawan sejak ia melangkah keluar dari mobilnya. Langkah demi langkah terasa amat sangat pasti, bagaikan ia bukanlah mahasiswa baru yang beberapa jam lalu tersesat selama dua puluh menit. Ternyata, dengan modal mata yang sepenuhnya sadar dan optimisme yang kuat, ia berhasil sampai ke gedung perpustakaan pusat.

Lelaki itu memegang satu kantung plastik berisikan dua buah Nyam Nyam dan beberapa camilan yang dahulu sering mereka makan ketika tengah bersama. Ia juga membawa sebuah kotak yang berisi gantungan kunci dengan bentuk busur dengan dua kancing baju terukir inisial H dan M.

Kini ia sudah berada di depan pintu masuk perpustakaan. Dengan hati-hati ia melangkah masuk ke dalam. Petugas yang rupanya memperhatikan gerak-gerik Haeril yang terlihat agak bingung lalu berbicara padanya, “Masnya maba, ya?”

Haeril mengangguk dan menghampiri petugas yang berada di bagian penerimaan. “Iya, Mas. Maba boleh masuk nggak, ya?”

Petugas itu terkekeh pelan. “Boleh, Mas. Cuma belum boleh pinjam buku sebelum punya kartu perpustakaan. Masnya mau dibuatkan kartu perpus? Kalau mau, ditinggal aja KTM-nya di sini. Nanti waktu keluar boleh diambil dan besok sudah jadi kartu perpusnya.”

Buru-buru Haeril mengangguk dan mengeluarkan dompetnya untuk memberikan Kartu Tanda Mahasiswa yang diperlukan untuk keperluan data keanggotaan perpustakaan.

“Baik. Terima kasih, ya, Mas Haeril. Oh iya, nanti sampah makanannya jangan lupa dibuang, ya, Mas.”

Haeril mengagguk. “Ini saya tinggal masuk aja, Mas?” tanyanya.

“Masnya masukin aja nama sama NIM di komputer sebelah sana terus udah boleh masuk, ya,” ucap petugas dengan papan nama Fathir itu sembari menunjukkan letak komputernya.

“Wokee, makasih banyak, Mas Fathir.”

Fathir mengacungkan jempolnya. “Sama-sama, Mas Haeril. Semangat terus berprestasi di dunia panahannya, ya!”

“Loh?”

“Adek saya penggemarnya njenengan. Hehe.”

Haeril masuk ke area perpustakaan yang dipenuhi rak-rak buku tinggi. Hal pertama yang ia lakukan adalah melihat ujung kanan dan kiri. “Oke. Yang di kiri nggak ada area tempat duduk terus AC-nya ada dua.”

Benar. Haeril masih sangat hafal kebiasaan duduk Maira kalau berada di perpustakaan. Biasanya perempuan itu akan memilih tempat duduk yang berada di bagian ujung yang memiliki pendingin ruangan paling sedikit. Maira sedikit sensitif jika terlalu dingin dan terlalu panas. “I told you I’ll find you, kan?” ucapnya pelan.

Debaran jantungnya semakin menjadi di setiap langkah yang ia ambil untuk menuju ke ujung kanan perpustakaan. Pandangannya yang tiada henti menengok ke kanan dan ke kiri juga kini mulai dapat melihat ujung meja yang kemungkinan besar tengah menjadi tempat nyaman untuk Maira.

Satu rak buku lagi.

Jantungnya berdetak tak karuan karena jaraknya sudah semakin dekat dan juga ia sudah dapat melihat satu-satunya perempuan tengah membaca sebuah buku tebal dengan tenang. Dari belakang saja, ia sudah tahu bahwa itu adalah Maira. Haeril menarik napas dalam-dalam dan menghampiri sosok itu dari belakang. Ia menaruh kantung plastik dan kotak itu di sebelah buku yang tengah dibaca Maira.

“Halo, Maira,” sapa Haeril pelan sebelum ia duduk di hadapan Maira yang tiba-tiba duduk dengan posisi tegang.

Maira masih memasang wajah penuh keterkejutan ketika Haeril sudah duduk di hadapannya dengan senyumannya yang tak mudah dilupakan. “Kak, aku mau ketemu sama orang — ”

“Iya. Sama orang yang gendong lo waktu pingsan? Pas koreo fakultas kemarin?” tanya Haeril.

Maira tak bisa banyak berucap. Ia hanya mengangguk pelan.

“Gue yang gendong lo, Mai,” ucapnya.

“Hah?”

Haeril mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan ruang percakapan antara dirinya dan Maira untuk membuktikan bahwa ia tidak berbohong. Lelaki itu tiada hentinya memandang wajah Maira yang kian merona dan bingung hendak berbicara apa. Walaupun ia juga di dalam hati masih ingin berteriak saking senangnya, setidaknya ia sudah bersiap-siap untuk tidak bertingkah berlebihan saat mereka bertemu lagi. Berbeda dengan Maira yang diberi kejutan. “Nggak bohong, Mai.”

Maira terkejut melihat kehadiran Haeril, lelaki yang tak pernah hilang dari ingatannya sejak masa SMA. Hatinya terombang-ambing di antara kenangan manis dan kecanggungan yang tidak diduga. Meskipun ingin berkata-kata, lidahnya membisu oleh perasaan yang rumit. Di balik rak buku perpustakaan, mereka saling berpandangan, dan Maira merasa seolah berada dalam dunia yang berbeda. Ia merasa waktu tengah berhenti untuk memberikan kesempatan pada kisah mereka yang sempat terjeda. “Kak… beneran?”

Haeril mengangguk. “Beneran, Mai.”

“Maaf, ya. Waktu pulang dari Amsterdam, gue langsung ke Jogja. Nggak ada ke Bandung dulu. Tadinya mau ke Bandung waktu libur sebelum kuliah buat mampir ke rumah lo. Ternyata nggak disangka-sangka kitanya malah ketemu di sini,” ucap Haeril panjang lebar.

“Kukira kamu nggak inget sama sekali sama aku, Kak. Tadi waktu kita tuker pandang di kelas juga aku kira kamu cuma senyum karena aku lihatin kamu sampai nggak ngedip. Aku kira kamu nyangka aku cuma sekadar fans yang kaget lihat kamu sekelas sama aku,” racau Maira panjang lebar.

I just need your eyes and your smile to recognize you. And all about us,” ucap Haeril lembut.

“Berarti waktu di Belanda dan kamu nggak lihat mataku atau senyumku, kamu nggak inget aku, dong?” tanya Maira yang sudah merasa lebih ringan untuk berbicara dengan Haeril.

Haeril terkekeh pelan. “Nah, itu baru Maira! Hahaha.”

Answer the question, Sir,” balas Maira dengan nada sok serius.

Haeril menggeleng pelan sembari menjawab, “Ya nggak gitu juga. I have thousands if not hundreds photos of you and us. Kalau nggak ada foto pun, lo nggak segampang itu pudar dari ingatan gue, Mai.”

“Masih jago gombal ternyata,” balas Maira.

Bibir Haeril tersenyum simpul. “Tiap hari gue puji busur gue satu-satu. Udah terlatih.”

Tertawa kecil pun terlempar dari bibir mereka seperti kembang api yang ringan. Di perpustakaan yang sunyi, Maira dan Haeril menemukan satu sama lain di antara barisan buku-buku yang menyimpan cerita-cerita lama. Namun, lama-kelamaan, suara tawa itu berangsur melebur, dan sunyi pun kembali menguasai ruangan.

Mata mereka bertaut, saling bertukar pandang seakan menafsirkan bahasa rahasia yang hanya mereka pahami. Di saat itulah, kenyataan mereka tertangkap dalam momen ajaib; dua tahun tak bertemu ternyata tak mampu menghapus jejak perasaan yang sama di hati mereka.

Dalam diam, langkah-langkah waktu berpadu, dan kedua sosok itu menyadari bahwa sejauh apa pun perubahan yang mereka alami, Maira dan Haeril tetaplah menjadi sosok yang sama — dengan perasaan yang sama.

“Kak, makasih udah pulang, ya,” ucap Maira dengan bibir yang sedikit bergetar. Entah mengapa ia merasa begitu emosional.

Kemarin-kemarin malam perempuan itu kerap dipenuhi rasa sedih dan gelisah. Namun, hari ini ia serasa diberikan lagi kekuatan yang tidak disangka-sangka besarnya. Sosok lelaki yang selalu ia tunggu hadirnya itu kini ada di hadapannya.

“Makasih juga karena udah nungguin, ya, Mai,” ucap Haeril lembut. “Maaf pulangnya lama banget.”

Maira yang mendengar suara lembutnya itu kemudian menyikapkan kedua tangannya di atas meja lalu memendam wajahnya di sana. Ia tidak tahan lagi. Air matanya mengalir. Sudah lama ia tidak menangis karena kepayang bahagia sejak perceraian kedua orangtuanya.

Haeril yang melihat itu tersenyum kecil. Matanya pun berkaca-kaca karena merasakan bahagia dan lega yang teramat lapang pada saat yang bersamaan. Banyak pikiran-pikiran negatif menghantui Haeril ketika ia berjauhan dengan Maira. Namun, hari ini, pintu pikiran negatif itu seolah ditutup rapat-rapat karena perempuan yang di hadapannya ternyata menunggu kepulangannya. “Maaf pulangnya lama banget, ya?”

Nggak apa. Yang penting kamu pulang, Kak.

Lelaki itu mengulurkan tangannya lalu mengusap rambut Maira dengan lembut dan hati-hati. To be honest, I really want to hug you right now, Mai.

“Mai, ada Nyam Nyam di kreseknya,” ucap Haeril dengan kekehan kecil.

Maira, dengan mata dan ujung hidung yang merah langsung mengangkat pandangannya. “Masa?”

Nyam Nyam bukanlah semata-mata makanan biasa bagi mereka. Makanan ringan itu telah menjadi suatu simbol yang amat berarti, tempat di mana kenangan manis pernah diukir bersama sambil bercerita seperti saat ini. Di sela-sela ragam kata yang mengalir, mereka merenungi bagaimana makanan kecil itu menjadi sahabat setia perbincangan mereka.

Kata Haeril, Nyam Nyam itu sajian yang paling pas dinikmati bersama saat keduanya dipenuhi kerinduan, sebab sendok mungil dan isi yang tidak sedikit itu mewajibkan mereka untuk meluangkan waktu berlama-lama menikmatinya. Meski tak jarang, semangat keduanya terlalu menggebu alias greget dan berakhir melahap makanan itu dengan brutal.

“Besok mau berangkat bareng nggak? Kesasar terus, nih.”

“Tapi ke sini nyasar nggak?”

“Kalau nyari lo nggak akan nyasar, Mai.”

--

--

No responses yet