Inferno Rage
TW // Intense Anger, Violence, and Bloodshed
Pesan yang diterima oleh Haeril bagaikan sebuah pertanda jelas bahwa Maira tidak baik-baik saja. Lelaki itu berlari menuju Sushi Hiro secepat yang ia bisa dengan pikiran mungkin saja Maira tak sengaja bertemu ibunya seperti semester lalu — atau lebih buruk.
Haeril tidak bisa menggambarkan dengan apa yang ada di kategori ‘lebih buruk’. Ia hanya berharap, situasi yang tengah dihadapi Maira pernah ia temui dan berhasil bantu sebelumnya.
Bugh!
Tubuh bagian atas Haeril tertabrak oleh Maira yang tengah berjalan keluar dari restoran dengan tubuh yang bergetar hebat. Refleks, lelaki itu memeluk Maira dengan harap getaran serta rasa gelisahnya dapat diserap olehnya. Namun, perempuan itu terasa sedikit berontak dengan lemas dalam pelukannya.
“Hei, kenapa, Ra?” tanya Haeril hati-hati.
Dengan perlahan, Haeril memundurkan Maira. “Ra, talk to me.”
Tangan Haeril perlahan terulur untuk mengusap pipi Maira — namun, hal itu tidak terjadi karena Maira menepis kasar tangannya dan refleks menjauh dari Haeril.
“Ra?”
Maira menggeleng pelan. “Jangan sentuh,” ucapnya lirih namun terdengar berusaha tegas.
Jantung Haeril seketika berdentum keras mendengar itu. Sepertinya ia tahu apa yang membuat Maira ketakutan setengah mati seperti ini. Si bajingan yang sudah dengan lancang melakukan hal tidak senonoh itu ada di sini dan Maira melihatnya.
Napas lelaki itu memburu, membakar seluruh tubuhnya dengan kemurkaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kepalan tangannya semakin kuat seraya urat-urat keluar dari punggung tangannya, menunggu target yang pantas untuk dihantam sekuat tenaga.
Mata Haeril kian menggelap sembari mencari sumber ketakutan perempuan yang tengah di dalam dekapannya itu. Ia melihat sekeliling dan hanya mendapati orang yang lalu lalang — hingga pandangannya kembali ke dalam kedai makanan Jepang dan mendapati hanya ada satu orang di sana. Seorang pria berumur di atas matang yang tengah minum teh hijau dingin dengan wajah menyebalkan.
“Itu?” tanya Haeril pada Maira dengan nada yang menggebu dan pandangan yang sepenuhnya menggelap.
Maira tahu dan pernah melihat mata tajam Haeril yang segelap itu. Ia tahu jelas bahwa lelaki itu kini sedang dibutakan oleh amarah. Jika orang sudah menganggap Haeril yang hampir memukuli Raden itu yang terparah — berarti mereka belum pernah berhadapan dengan Haeril yang ini.
Maira belum pernah melihat Haeril dalam keadaan seperti ini. Sudah lama sejak terakhir kali ia begini. Bahkan, di kali terakhir itu pun… Maira tak dapat menghentikannya.
Rasa takut Maira semakin memuncak hingga lutut Maira terasa lemas sampai-sampai ia tidak bisa melangkah mendekat pada Haeril. Namun, ia tetap berusaha.
Saat Maira hendak melangkah, seseorang berlari ke arahnya dengan cepat seolah-olah menyambar tubuhnya dan menariknya jauh dari Haeril. “Kak!”
Tidak berguna.
Haeril… sudah tak bisa mendengar apa-apa lagi. Selain amarahnya.
Tak lama dari situ, bagaikan tengah membawa sebuah boneka, Haeril berhasil menggusur pria bajingan itu keluar dari kedai sushi tanpa peduli yang di bawanya berusaha melepaskan diri. “Mas! Saya gak kenal anda! Tiba-tiba main gusur saya!” berkali-kali pria itu bicara begitu, sayangnya suaranya terdengar bagai suara lalat yang mengganggu untuk telinga Haeril.
Pelayan tempat makan itu terlihat kebingungan dan menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya berlari ke bagian belakang bar tempat pelayanan untuk melaporkan keadaan.
Haeril menghempas seonggok daging busuk yang dibawanya lalu menaruh kakinya di atas ulu hati pria itu.
“Mas! Anda gila po?! Saya salah apa?!”
“Salah apa? Berani lo nanya begitu sama gue, bangsat?!” marah Haeril mengangkat kakinya lalu menghentakkannya ke atas ulu hati pria itu.
Maira yang melihat itu hanya bisa terduduk sembari menutup matanya. Mengeluarkan tangisnya karena ia menyalahkan diri sendiri akan terjadinya situasi sekarang ini.
Ujung sepatu Haeril mengarahkan kepala pria itu ke Maira. “Lihat perempuan yang di sana. Masih berani tanya salah apa?”
Pria itu menatap dalam-dalam Maira yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya — namun, ada satu yang ia tak bisa lupakan dan ingat dengan jelas. Ketertarikan tak lazimnya terhadap tahi lalat di leher perempuan yang membuatnya terangsang sepanjang perjalanan.
“Tahi lalat di lehernya pernah saya jilat,” ucap pria itu yang entah bagaimana bisa itu keluar dari mulutnya dalam keadaan seperti ini.
Bagaikan disambar petir jiwanya ketika mendengar kalimat menjijikan itu, Haeril sudah tidak bisa lagi menahan dirinya, air mata turun dari matanya dengan hebatnya sampai-sampai ia tak dapat melihat jelas. Amarah membakar jiwanya, mendorongnya untuk menendang tubuh pria di hadapannya tanpa henti. Teriakan dan umpatan kasar menggema di udara, menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Kerumunan mulai terbentuk, menyaksikan luapan emosi Haeril yang tak tertahankan.
Maira tersungkur di atas lantai, telinganya terbungkam rapat oleh telapak tangannya. Kedua matanya terpejam erat dengan air mata mengalir deras membasahi pipinya. Mulutnya terbuka lebar, ingin berteriak sekuat tenaga, namun tak ada suara yang keluar. Orang mulai berkumpul. Mereka melihat ke arah Maira dengan tatapan penasaran dan sedikit prihatin. Namun, tak ada satu pun yang benar-benar peduli untuk turun tangan dan membantunya.
Dia tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya kacau dan tubuhnya lemas. Maira hanya bisa berharap bahwa seseorang akan datang dan menolongnya.
Entah mereka yang tidak peduli atau mereka yang merasa sudah terlalu takut untuk mendekati Haeril lalu berakhir sama babak belurnya dengan pria yang sekarang wajahnya ditinju berkali-kali.
Pria yang menjadi sasaran amarah Haeril merintih kesakitan sembari lengan kirinya memukul telinga Haeril sekuat yang ia bisa. Darah merah segar milik Haeril dan pria itu bercampur tak beraturan mengaliri lantai yang berwarna gading cerah. Menciptakan abstrak yang membuat ngeri.
Piiiip!
Peluit keamanan bergema dengan kerasnya, memecah keributan di sekitar, sementara suara langkah sepatu hak tinggi yang berat dan berbondong-bondong melibas jalannya mendekat dengan cepat.
Haeril tak peduli. Ia masih terus memukuli pria yang tak sadarkan diri dan berlumuran darah itu dengan membabi buta — perlu dua orang satpam berperawakan tinggi besar untuk dapat sepenuhnya menarik Haeril agar dapat diamankan.
“Mbak? Mbak bareng dengan pelaku, kan? Ayo ikut kami juga,” ucap salah satu petugas keamanan sembari mengulurkan tangannya pada Maira.
“Ra, chat Raden. Aku yang sekarang nggak bisa kamu andalin,” ucapnya sebelum digiring masuk dan meninggalkan Maira sendiri di depan kantor polisi.