Flowers for Both
Suara mobil yang belakangan ini terdengar familier di pendengaran wanita itu terdengar semakin dekat. Bisa dipastikan, mobil itu sudah berada tepat di depan pintu utama rumahnya. Benar, Biara tengah menaruh telinganya di pintu rumahnya bagaikan anak muda yang hendak diajak pergi dengan pacar pertamanya. Saat ia mendengar suara langkah yang mendekat, buru-burulah ia berlari ke ruang keluarga. Di mana bundanya berada. Bel pun berbunyi.
“Bun, itu Mas Janu.”
“Kamu sampai kenal suara mobilnya? Whoa, you’re really into him, don’t you?”
Biara tak menjawab, ia sibuk melihat pelayannya yang melangkah untuk membukakan Januar pintu. Saat pelayannya mengantarkan sang tamu untuk ke ruang keluarga, Biara melompat untuk duduk di sebelah bundanya.
Tak lama, muncul sosok pria dengan setelan rapi dengan sebuah buket bunga yang cantik di tangan kanannya. Hafa dan Biara refleks berdiri bersamaan. “Nak Januar, ya? Tepat waktu juga kamu. Hebat.”
Januar mengangguk malu. Ia mengambil satu langkah maju untuk memberikan bunganya kepada Hafa, “Ini, untuk Ibu. Sebagai bentuk perkenalan saya dan ucapan selamat atas rancangan yang akan rilis dua hari lagi. Maaf jikalau ini terlalu sederhana, ya, Bu.”
Hafa menggeleng lalu menerima buket itu dengan ramah. “I love Orchids, Januar. Terima kasih, ya. Anak saya udah tiga tahun, tuh, nggak kasih saya hadiah setelah rilis rancangan besar-besaran.”
“Astaga, nggak gitu, Bun,” Biara menggeleng kepalanya pelan.
“Panggil saja saya Bunda, ya, Janu,” ucap Hafa. Tak mengindahkan perkataan Biara sedetik yang lalu. “Bunda mau taruh dulu bunganya di vas, ya.”
Hafa menoleh pada Biara dengan wajah usil. “Bunda dapet bunga. Kamu enggak, horee,” ucapnya sebelum melengos pergi, diikuti seorang pelayan rumah yang membawa vas kesayangannya ke arah dapur.
“Aku nggak dapet bunga juga, nih?”
Januar menggeleng. “Nggak.”
“Oke. Ya udah, jalan.”
“Nggak cuma dapet bunga, maksudnya. Coba cek jok belakang, deh,” ucap Januar sembari tersenyum kecil.
Di sana ada bunga, boneka beruang kutub yang cukup besar, dan sebuah headhphone. “Semuanya buat aku?”
Januar mengangguk yakin. “Iya. Hadiah buat kamu karena udah selesain naskah. And for being most generous girl I’ve ever met. Lagi-lagi, saya minta maaf kalau semisal hadiahnya terlalu sederhana, ya.”