Dinner Went Well, Until ….

Maro Fitzye
4 min readJan 20, 2023

--

Makanan yang disajikan dengan sedemikian rupa seolah mewarnai meja yang tadinya kosong dan dibaluti kain putih. Januar dan Biara makan sembari sesekali mengobrol dengan merasa nyaman tanpa adanya gangguan. Tidak terdengar suara riuh obrolan orang lainnya karena mereka menikmati fasilitas yang diberikan hanya untuk bilik makan dengan privasi tinggi.

Tepat saat Biara hendak beralih dari daging filetnya menuju udang yang ukurannya sedikit lebih besar dari dagingnya merasakan getaran di atas mejanya. Rupanya, itu adalah ponsel Januar yang menerima notifikasi pesan dari orang yang tidak dapat mereka berdua lihat karena bagian depan ponselnya menghadap ke bawah. “Mas, ada notif, tuh,” ucap Biara.

Januar mengangguk. “Nggak apa. Dibiarin aja. Paling ganggu doang.”

“Oke, deh.”

Anyways, gimana rasanya petite filet? Kecil banget. Mau nyicip tapi takut sekali suap langsung kosong piringmu,” canda Januar dengan kekehan kecil di belakangnya.

“Enak, kok. Aku bukannya makan kecil tapi pengin satu piring isinya macem-macem aja, hehe. Mas mau coba?”

Januar menggeleng. “Kamu coba aja punya saya, sini,” ucap Januar yang memotongkan bagian dagingnya menjadi sedikit lebih kecil lalu mengulurkan tangannya menuju mulut Biara yang mau tidak mau harus terbuka.

Tak sempat wanita itu malu-malu karena Januar yang tiba-tiba menyuapinya karena ia langsung teralih karena rasa daging yang memenuhi mulutnya, memanjakan seluruh bagian indra perasanya dengan amat lembut. “Ih, nyesel nggak pesen samaan.”

“Lidah saya nggak pernah salah,” cibir Januar sembari memotong beberapa bagian untuk ditaruh di piring Biara. “Padahal kalau mau yang kecil, ada juga yang ukuran dua belas ons aja, tahu.”

“Emang itu berapa ons?” tanya Biara. Ia memang jarang memerhatikan ukuran daging ketika makan.

“Ini? Dua puluh dua ons aja, sih. Masih banyakan daging kalau lebaran haji,” Januar lagi-lagi bercanda soal porsi makanannya.

“Ya itu ‘kan mentah, Mas,” malas Biara.

Lagi-lagi, ponsel Januar bergetar. Namun, kali ini, notifikasinya tidak kunjung berhenti. Notifikasi yang meributi ponselnya itu membuat dirinya dan Biara amat terganggu. “Siapa, sih? Ganggu aja,” ketus Januar, masih tidak menyentuh ponselnya.

Tak lama setelah ia mengatakan itu, ponselnya bergetar yang menunjukkan kalau ponselnya menerima sebuah panggilan. “Duh, elah. Bia, saya izin angkat dulu sebentar, ya?”

Biara mengangguk tanpa menoleh pada Januar. Pria itu kemudian berlalu ke arah kamar mandi. Rupanya, itu adalah telepon dari Haris, adik bungsu Meru. “Ada apaan, Ais?”

“Bang, sorry banget ganggu, tapi, mau nanya. Ini abang gua diterima sama Mbak Kaia?!”

Januar mengerutkan kedua alisnya. “Hah? Iya.”

“Emang si Unung kalau kasih kabar suka nggak jelas terus ngilang!”

“Ya udah. Makasih banyak, Bang! Tolong gaplok tuh abang gua soalnya nyebelin banget. Mama nih sampai lupa bayar kue putu gara-gara heboh.”

Rasa kesal yang tadi sempat muncul kini sirna, Januar terkekeh karena membayangkan betapa hebohnya keluarga Meru yang menerima kabar dari si anak tengah yang tidak jelas perihal lamarannya yang diterima. “Gua lagi nggak sama Meru. Kalau lu nggak teriak heboh, pasti Mamér juga nggak sampai lupa bayar putu.”

“Lah? Lu kok tahu? EH! Bang Janu di luar bareng siapa? Tumben!”

“Sama cewek gua. Dah, ah, gua tutup.” Januar menutup teleponnya sepihak lalu melangkah kembali ke ruang makan yang memancarkan aura tidak enak.

Rupanya, Biara bukan hanya terganggu perihal ponsel Januar yang bergetar beberapa kali. Wanita itu juga berpikir mengenai siapa orang di balik notifikasi ponsel Januar. Mengingat, pria itu tidak menaruh ponselnya menghadap ke atas sehingga layarnya tidak dapat terlihat dan siapa juga yang akan mengirimi pesan kepada seseorang sebanyak itu dalam satu waktu disertai telepon jikalau bukan orang penting?

“Loh? Kamu nggak dessert duluan aja? Makananmu udah habis.”

“Nggak. Nunggu kamu, Mas,” jawab Biara dengan nada yang datar.

Jujur saja, nada datar itu membuat Januar khawatir dan agaknya bertanya-tanya. Januar kembali duduk di hadapan wanitanya sembari batinnya bertanya-tanya, ada apa gerangan?

“Kamu ada sesuatu yang mau dilakuin, Mas?” Biara yang tak suka basa-basi langsung menembak Januar yang baru saja duduk dengan pertanyaannya.

“Maksudnya?”

“Selain makan malem sama aku?”

“Hah? Kok nanya gitu?”

“Tadi notifikasimu banyak banget soalnya. Kayak notifikasi cowok yang dicariin ceweknya,” Biara menekankan nada sindirannya di kalimat akhirnya.

Katakanlah, Januar tercengang dengan pertanyaan itu. Bukan, ia bukannya tercengang karena pertanyaan Biara yang mungkin memojokkannya. Ia tercengang karena Biara yang tengah berada di hadapannya adalah sosok wanita yang tengah cemburu dan khawatir apakah pria yang tengah bersamanya itu memiliki wanita lain di belakangnya. “Astaga … nggak gitu, Bia. Tadi tuh notifikasi dari keluarganya si Unung. Mereka heboh karena dikasih kabar nggak jelas soal diterima atau ditolaknya dia sama Ivy.”

Biara hanya mengangguk saja. “Ya udah, lanjut makan, Mas.”

“Kamu masih kepikiran, ya? Sebentar,” ucap Januar sembari dirinya mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, ia membuka ponselnya lalu langsung menuju ke riwayat panggilan.

Ia memperlihatkan layar ponselnya kepada Biara tanpa diminta. “Ini telepon yang tadi itu dari Haris. Adiknya Meru.”

Januar kemudian memperlihatkan pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. “Ini yang sejak tadi geter-geter. Ada dari adiknya dan kakaknya Meru. Nggak ada notif cewek, yaa.”

Biara yang melirik kemudian membuang napas pelan. “Ayo habisin makannya. Aku mau dessert, ish.”

Januar yang wajahnya penuh kekhawatiran kini kembali tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Biara sebelum kembali makan. “Jangan cemberut gitu, dong. Nanti kue yang mau kamu makan jadi pahit gimana?”

Filet & Shrimp by Ruth’s Chris Steak House

--

--