Bubur Ayam

Maro Fitzye
2 min readNov 7, 2023

--

Photo by eggy gouztam on Unsplash

Di bawah langit pagi yang cerah dan udara yang segar, Haeril dan Maira memutuskan untuk membuat hari teman-teman mereka menjadi lebih istimewa. Mereka melangkah bersama-sama menuju tukang bubur yang terletak tak jauh dari kontrakan mereka. Langkah keduanya penuh semangat seolah-olah mereka membawa keceriaan sendiri dalam setiap jejaknya.

Saat tiba di tukang bubur, Haeril yang sudah pernah sarapan di sana kemudian memesan dengan senyum ramah senantiasa menghiasi wajahnya. Mereka dengan sabar menunggu bubur dan lontong itu disajikan dengan aneka tambahan seperti telur rebus, kerupuk, dan bawang goreng, memberikan sentuhan spesial pada hidangan masing-masing bubur.

“Eh, Kak. Kemarin waktu aku di kamar mandi nangis, kamu bilang ‘aku’ nggak, sih?” tanya Maira dengan senyuman menggemaskan.

Haeril menoleh padanya. “Hah? Maksudnya?”

Maira menatap lelaki itu dengan wajah malas. “Ya maksudnya pakai ‘aku’ bukan ‘gue’ gitu. Padahal ada anak kelas lain juga.”

Bukannya merespon kepada Maira, Haeril malah melempar pertanyaan kepada Mas penjual bubur yang tengah memisahkan kuah lontong dengan cekatan, “Mang — eh, Mas. Mau nanya, dong?”

“Boleh, Mas. Tapi, maaf yo saya ndak hadap masnya. Lagi bungkus ini, hehe,” balasnya ramah.

Haeril langsung saja menjawab. “Nggak apa, Mas. Santai.”

“Saya mau tanya, Mas. Baiknya kalau ke pacar itu pakai aku-kamu atau gue-lo, ya, Mas?” tanya Haeril langsung.

Maira yang mendengarnya langsung menoleh dengan memasang ekspresi wajah tak percaya sembari mencubit pinggang Haeril kecil. “Apaan, sih, Kak?”

Mas penjual bubur menoleh dengan cengiran cerianya. Dengan wajah berseri-seri, ia menjawab, “Bagusnya sayang-sayangan to, Mas, Mbak.”

Kedua sosok itu terkejut mendengar jawaban ceria sang penjual bubur. Bahkan Haeril — orang yang menanyakannya, kini memasang wajah yang merona karena kebingungan, mencoba menutupi rasa malunya dengan senyuman canggung. Sementara itu, Maira tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa malu yang tersemat di wajahnya.

Haeril menjawab dengan suara kecil, “Oh, begitu, Mas?”

“Dicoba, dong, Mas,” pinta sang penjual bubur dengan senyuman cerah.

Haeril, dengan mata terbelalak, menanggapi, “Hah?”

Sang penjual membuka senyum lebar, “Coba mbaknya dipanggil sayang gitu, lho,” lanjutnya dengan nada lembut, seakan memberi saran romantis kepada pasangan muda di depannya.

Maira, yang mendengar kata-kata itu, merasakan wajahnya memanas dan matanya melebar kaget. Ia akhirnya bersuara, “Nggak perlu, loh. Kami nggak pac — ”

Namun, Maira tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Haeril cepat tanggap dan memotong ucapannya dengan tegas, “Sayang.”

Suara Haeril, meskipun pelan, satu kata yang keluar dari mulutnya terdengar penuh dengan keberanian dan keyakinan. Tatapan matanya yang penuh makna menatap Maira dengan ketegasan, mencerminkan keputusan yang sudah lama ia bulatkan. Rasa malu dan keanehan menyelimuti mereka berdua, namun di balik itu, ada keintiman dan ketulusan dalam hubungan mereka yang semakin erat.

--

--

No responses yet